Minggu, 22 Februari 2015

Resep Ibnu Qayyim al-Jauziyah Agar Sukses Belajar

Oleh: Kholili Hasib
Ibnu Qoyyim adalah ahli fikih bermadzhab Hanbali, yang pakar dalam berbagai bidang ilmu. Di madzhab Hanbali, ia dikenal memiliki otoritas dalam ilmu tafsir. Juga ahli hadits, ahli ilmu nahwu, ahli ushul, dan ahli ilmu kalam.
Ia juga piawai mengkader ulama. Dari tangannya lahir ulama-ulama kenamaan dari berbagai madzhab di negeri Syam, baik Syafi’iyyah maupun dari Hanbaliyyah. Seperti Ibnu Katsir,  Imam al-Dzahabi, Ibnu Rajab dan lain-lain adala murid beliau. Dikenal pula produktif menulis buku. Tercatat, ada sekitar 41 buah karya kitab dari berbagai disiplin ilmu telah ia tulis selama hidupnya. Karena itu, ia dijuluki “kamus ilmu pengetahuan”.
Pemikiran-pemikirannya tentang ilmu penting untuk dikaji. Menurutnya, sumber ilmu itu dari Allah Swt sehingga tujuan dan hakikat menuntutnya semata untuk mengabdi kepada Allah Swt. Selaras dengan tujuan hidup bagi setiap manusia yang meliputi seluruh aspek perbuatan dan tindakan.
Ilmu apapun, baik ilmu syar’iyah atau non-syar’iyah hanya berguna jika dijadikan alat untuk mendapatkan pengetahuan tentang Allah Swt, keridhoan dan kedekatan kepada-Nya semata.
Karena itu dari berbagai macam ilmu, menurut Ibnu Qayyim ilmu yang paling teratas kedudukannya adalah ilmu tentang mengenal Allah Swt. Sebab mengenal Allah Swt adalah kebahagiaan seorang hamba yang paling besar.
Maka, sebagaimana para ulama lainnya, Ibnu Qayyim mengaitkan seluruh ilmu pengetahuan dengan ma’rifatullah (mengenal Allah Swt) dan iman kepada-Nya. Inilah integrasi ilmu dan iman.
Menurutnya, ilmu itu sesungguhnya adalah cahaya hidayah. Sedangkan kebodohan adalah kegelapan. Jadi orang berilmu itu adalah orang yang mendapatkan hidayah (Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Madarijus Salikin, hal. 37).
Berdasarkan konsep ilmu tersebut, Ibnu Qayyim al-Jauziyah berpendapat, ada sepuluh tingkatan hidayah sesuai dengan tingkatan manusia di hadapan Allah Swt dalam memperoleh ilmu Allah Swt. Pertama, orang yang diajak bicara langsung oleh Allah Swt dalam keadaan terjaga. Golongan ini dialami nabi Musa a.s dan nabi Muhammad Saw. Kedua, tingkatan wahyu, yang khusyu’ diberikan kepada para Nabi dan Rasul. Ketiga, mengirim utusan malaikat kepada utusan manusia. Lalu utusan malaikat ini menyampaikan wahyu dari Allah. Ketiga d atas adalah khusus untuk untuk para nabi dan rasul. Keempat, ilham yang diberikan kepada hamba-Nya yang shalih dekat dengan-Nya. Kelima, orang-orang yang diberi kemudahan pemahaman terhadap ilmu dengan pemahaman khusus. Keenam, orang-orang yang diberi penjelasan secara umum tentang haq dan batil, melalui tanda-tanda yang difahamkan melalui orang lain. Ketujuh, orang-orang yang mendapatkan penjelasan dan pemahaman khusus terhadap satu masalah tertentu yang tidak semua orang mengetahuinya. Penjelasan ini disusul dengan pertolongan, taufik dan pengenyahan sebab-sebab kehinaan dari hati, sehingga dia tidak kehilangan hidayah. Kedelapan, orang yang diberi kemampuan mendengar. Yakni hatinya mudah mendengar informasi hujjah dan dakwah, baik dari kalangan awam maupun khusus. Kesembilan, ilham petunjuk dari Allah, yang menghasilkan keimanan kepada-Nya. Kesepuluh, orang yang diberi anugerah mimpi yang benar (ru’yah shadiqah).
Menurut Ibnu Qayyim ilmu tidak akan didapat kecuali oleh orang-orang yang siap menerimanya, yaitu yang hatinya bersih dan dekat dengan Allah Swt. Sebaliknya kemaksiatan dan kedurhakaan merupakan penghalang diterimanya ilmu Allah Swt.
Ia berkata, “Jiwa yang taat akan lebih banyak meraih kebebasan daripada jiwa yang sibuk dengan urusan badan” (Ibnu Qayyim al-Jauziyah, al-Ruh, hal. 30). Maksudnya, jiwa yang tidak bebas (terkekang nafsu)  tidak akan mampu melihat dan menerima ilmu Allah Swt yang disampaikan melalui Rasul-Nya dan umat-umat terdahulu secara terperinci.
Banyak orang yang gagal memperoleh ilmu atau ilmunya terlepas dari hatinya disebabkan oleh jiwa dan hatinya durhaka kepada Allah Swt. Orang tersesat diakibatkan prasangka dirinya bahwa ia telah pandai, namun hakikatnya bodoh.
Ia pernah bercerita bahwa Sufyan bin Utaibah berkata: “Jauhilah penyakit seorang pintar yang sesat dan penyakit seorang ahli ibadah yang bodoh, karena penyakit dari dua macam orang ini merupakan penyakit yang menyesatkan. Orang ahli ibadah yang bodoh menolak ilmu dan implikasinya. Inilah merupakan kesesatan yang menyebabkan kedustaan agama.” (Ibn al-Qayyim al-Jauziyah dalam al-Fawa’id).
Seorang pelajar wajib mengerti tentang betapa buruknya dampak perbuatan maksiat serta jeleknya akibat yang ditimbulkannya dan juga bahaya yang timbul sesudahnya yaitu berupa muramnya wajah, kegelapan hati, sempitnya hati dan gundah gulana yang menyelimuti diri karena dosa-dosa itu akan membuat hati menjadi mati. Hati yang mati adalah hati yang terhalang mendapatkan ilmu Allah Swt.
Nasihat penting diperhatkan bagi pelajar dan penuntut ilmu, adalah nasihat Ibnu Qayyim tentang kesabarahan menjauhi makan yang berlebihan.
Hendaknya seorang penuntut ilmu menjauhi sikap berlebihan dalam hal makan, minum dan berpakaian. Karena sesungguhnya besarnya dorongan untuk berbuat maksiat hanyalah muncul dari akibat berlebihan dalam perkara-perkara tadi. Dan di antara sebab terbesar yang menimbulkan bahaya bagi diri seorang hamba adalah waktu senggang dan lapang yang dia miliki. Karena jiwa manusia itu tidak akan pernah mau duduk diam tanpa kegiatan. Sehingga apabila dia tidak disibukkan dengan hal-hal yang bermanfaat maka tentulah dia akan disibukkan dengan hal-hal yang berbahaya baginya.
Tazkiyatun nafs (pembersihan jiwa) bagi Ibnu Qayyim merupakan syarat keberhasilan seseorang mendapatkan ilmu. Karena ilmu itu cahaya dan cahaya tidak akan masuk ke dalam kedurhakaan. Ia mengatakan, ilmu itu merupakan cahaya dan kebodohan adalah kematian dan kegelapan. Sesungguhnya cahaya itulah yang mengungkapkan hakikat sesuatu dan kehidupan manusia, baik dunia maupun akhiran. []
Sumber: http://inpasonline.com/new/resep-ibnu-qayyim-al-jauziyah-agar-sukses-belajar

Tidak ada komentar: